TEMPO Interaktif, Bantul -“Delapan puluh persen material rumah ini, adalah barang bekas,” Ratna Ika Sari, isteri seniman Djaduk Ferianto membuka percakapan dengan Tempo, di rumahnya Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Bantul, Senin awal Maret lalu.
Dari perabot meja-kursi, aksesoris dan hiasan dinding, kusen hingga daun pintu dan jendela. Untuk ubin rumah, lanjut wanita yang akrab disapa dengan Petra itu, mengaku memilih tegel kuno bermotif klasik.
Sayang berburu tegel semacam itu, bukanlah perkara mudah. Dia rela blusukan ke pasar-pasar loak. Juga tempat penjualan material sisa bongkaran rumah. Dari Yogyakarata hingga Semarang. Gawatnya, tak semua tegel yang didapat kondisi masih bagus. Banyak diantaranya cuwil, tak lagi utuh. Untuk melengkapi puzle ubin, “beberapa pesan di tegel Kunci,” kata perempuan yang kesohor dengan orkes Sinten Remen ini.
Tegel Kunci yang dimaksud Petra, adalah pabrik tegel cap Kunci di jalan KS.Tubun kota Yogyakarta, tempat sehari-hari Seokiman, 63 tahun, bekerja mencetaak tegel.
Kepala Produksi pabrik, Benny Making mengakui, keunikan produk tegel Kunci memang seakan membawa tegel ini pada segmen pasar tertentu. Dengan harga yang lebih mahal dibanding keramik modern, konsumennya adalah kelas menengah ke atas. Selain berasal dari dalam negeri, “Juga ada yang luar negeri,” kata dia ditemui Tempo di ruangannya, Rabu (24/3) kemarin.
“Singapura, Australia, Amerika, Italia dan Malaysia,” dia menyebut asal negara konsumen yang diingatnya.
Konon di Indonesia sendiri, dia melanjutkan, sejumlah nama orang-orang kesohor tercatat pernah memesan tegel cap Kunci. Diantara mereka adalah Mamik Soeharto, Rahardi Ramelan dan Rieke Dyah Pitaloka.
“Tak hanya Djaduk,” kata dia mengamini ungkapan Petra, “Butet Kertaredjasa juga membeli disini.”
Ornamen dan motif di permukaan tegel, lanjut dia, tak hanya dianggap klasik. Namun sekaligus memiliki citarasa seni. Degradasi warnanya berbeda dengan warna mengkilap pada ubin keramik modern. Selain itu, struktur tegel pun lebih kuat dan tak mudah pecah.
Dulu, di awal abad 19, tegel ini pernah menjadi simbol kemewahan di jamannya. Tak percaya? Lihat saja bangunan kuno yang dibangun di masa penjajahan Belanda. Tentu sebagian besar lantainya dari ubin tegel semacam itu.
Jadi jika anda kebetulan bertandang ke gedung-gedung itu dan secara kebetulan menemukan ada logo dua kunci bersilangan, bisa jadi itu ubin gantian. Karena itu, logo tegel cap Kunci.
Kepala Produksi pabrik, Benny Making mengakui, keunikan produk tegel Kunci memang seakan membawa tegel ini pada segmen pasar tertentu. Dengan harga yang lebih mahal dibanding keramik modern, konsumennya adalah kelas menengah ke atas. Selain berasal dari dalam negeri, “Juga ada yang luar negeri,” kata dia ditemui Tempo di ruangannya, Rabu (24/3) kemarin.
“Singapura, Australia, Amerika, Italia dan Malaysia,” dia menyebut asal negara konsumen yang diingatnya.
Konon di Indonesia sendiri, dia melanjutkan, sejumlah nama orang-orang kesohor tercatat pernah memesan tegel cap Kunci. Diantara mereka adalah Mamik Soeharto, Rahardi Ramelan dan Rieke Dyah Pitaloka.
“Tak hanya Djaduk,” kata dia mengamini ungkapan Petra, “Butet Kertaredjasa juga membeli disini.”
Ornamen dan motif di permukaan tegel, lanjut dia, tak hanya dianggap klasik. Namun sekaligus memiliki citarasa seni. Degradasi warnanya berbeda dengan warna mengkilap pada ubin keramik modern. Selain itu, struktur tegel pun lebih kuat dan tak mudah pecah.
Dulu, di awal abad 19, tegel ini pernah menjadi simbol kemewahan di jamannya. Tak percaya? Lihat saja bangunan kuno yang dibangun di masa penjajahan Belanda. Tentu sebagian besar lantainya dari ubin tegel semacam itu.
Jadi jika anda kebetulan bertandang ke gedung-gedung itu dan secara kebetulan menemukan ada logo dua kunci bersilangan, bisa jadi itu ubin gantian. Karena itu, logo tegel cap Kunci.
ANANG ZAKARIA (BANTUL)
0 komentar:
Posting Komentar