CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 11 April 2011

Belajarlah dari Kasus Citibank

Tuesday, 12 April 2011
Amat mengenaskan. Begitu kesan kita ketika mendengar nasabah kartu kredit Citibank Irzen Octa meninggal pada 29 Maret 2011.Pelajaran apa yang dapat ditarik dari kasus itu? Kartu kredit sudah menjadi tren tersendiri sebagai salah satu gaya hidup masyarakat kita.

Hampir semua bank nasional papan menengah dan atas gencar memasarkan kartu kredit. Menurut data Bank Indonesia (BI),terdapat 20 bank nasional sebagai penerbit kartu kredit. Katakanlah, BNI, Bank Mandiri,BRI,BCA,Bank Danamon, Bank CIMB Niaga, BII, Bank Permata, Citibank,Hong Kong and Shanghai Bank Corporation (HSBC), Standard Chartered Bank, ANZ Panin Bank,OCBC NISP.

Mengapa mereka begitu bergairah dalam menggarap kartu kredit? Karena kartu kredit sanggup memberikan kontribusi signifikan sebagai pendapatan non-bunga (non interest income) yang lebih dikenal sebagai fee-based income.Transaksi lain yang menghasilkan buah yang sama adalah remitansi (remittance), transaksi internasional (ekspor, impor, bank garansi) (trade finance), manajemen kas (cash management), manajemen kekayaan (wealth management). Inilah jurus baru bank nasional.

Potensi Risiko

Data BI menunjukkan jumlah kartu kredit yang beredar hingga Desember 2010 mencapai 13.574.673 lembar yang lalu menurun menjadi 13.513.020 lembar dan 13.803.196 lembar masing-masing pada Januari 2011 dan Februari 2011.Menurut catatan BI, naik turunnya jumlah pemegang alat pembayaran menggunakan kartu (APMK) disebabkan oleh kebijakan di beberapa penerbit untuk menghapus kepemilikan kartu dari pengguna yang sudah tidak aktif atau tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Bagaimana transaksi belanja dengan kartu kredit? Transaksi kartu kredit per Desember 2010 yang dimanfaatkan untuk belanja mencapai Rp15,62 triliun. Angka ini kemudian menipis menjadi Rp13,64 triliun dan Rp12,93 triliun masing-masing per Januari 2011 dan Februari 2011. Data ini menggambarkan begitu manisnya madu kartu kredit bagi bank nasional. Tetapi jangan lupa bahwa kartu kredit juga menyimpan potensi risiko baik bagi bank nasional maupun nasabah kartu kredit.

Apa bentuknya? Potensi risiko kredit bermasalah (non performing loan/NPL). Statistik Perbankan Indonesia (SPI), Januari 2011 yang terbit pada 24 Maret 2011 menunjukkan bahwa NPL tahunan (year on year/ YoY) pada kartu kredit kelompok bank umum menurun 12,78% dari Rp1,80 triliun per Januari 2010 menjadi Rp1,57 triliun pada Januari 2011. Namun, secara bulanan (month to month/MtM) NPL meningkat 1,95% dariRp1,54triliunperDesember2010menjadiRp1,57triliun per Januari 2011.

Gejala peningkatan NPL (MtM) hampir terjadi di semua kelompok bank kecuali Kelompok bank campuran dan bank asing.NPL kelompok bank persero dari Rp146 miliar menjadi Rp155 miliar,Kelompok bank umum swasta nasional (BUSN) devisa dari Rp489 miliar menjadi Rp516 miliar. Sebaliknya, NPL kelompok bank campuran malah menipis dari Rp241 miliar menjadi Rp231 miliar dan kelompok bank asing dari Rp668 miliar menjadi Rp663 miliar pada periode yang sama.

Lalu,apa potensi risiko bagi nasabah kartu kredit? Tagihan membengkak. Simak saja kasus Citibank itu.Tagihan semula “hanya”Rp68 juta sudah menggunung menjadi Rp100 juta. Hal ini sudah sepatutnya menjadi pelajaran berharga bagi nasabah kartu kredit untuk lebih mewaspadai tunggakan kartu kredit.

Pelajaran Berharga 

Kalau begitu,pelajaran berharga apa saja yang patut dipetik? Pertama,menyempurnakan peraturan. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/11/ 2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan APMK menyatakan bahwa penerbit kartu kredit wajib menjamin bahwa penagihan atas transaksi kartu kredit baik yang dilakukan oleh penerbit kartu kredit sendiri atau menggunakan jasa pihak lain, dilakukan dengan ketentuan yang ditetapkan dengan Surat Edaran BI (Pasal 17).

Tetapi,Surat Edaran Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan APMK ternyata tidak memuat tentang tata cara penagihan tunggakan kartu kredit melalui pihak lain. Untuk itu, BI seharusnya segera menerbitkan PBI mengenai hal itu untuk menekan potensi risiko.Apa saja yang layak diatur? Sebut saja tata cara penagihan, kolektibilitas kredit (diragukandanmacetmisalnya) dan etika penagihan.Inilah momenpentinguntukmakinmenegakkan kode etik (code of conduct) pada tata cara penagihan. Kedua, melakukan audit investigasi.

BI pun harus segera melakukan audit investigasi untuk menuntaskan kasus tersebut. Hal ini bertujuan untuk mencegah potensi risiko lainnya. Lirik saja penarikan tunai dengan kartu kredit per Desember 2010 telah mencapai Rp378,16 miliar.Angka itu merosot menjadi Rp345,89 miliar per Januari 2011 namun kemudian naik menjadi Rp355,95 miliar per Februari 2011.Sungguh, fasilitas semacam ini mendorong aji mumpung (moral hazard) bagi pemegang kartu kredit untuk memenuhi kebutuhan yang tak penting dan tak mendesak.

Inilah sejatinya salah satu pemicu meledaknya tagihan kartu kredit. Untuk itu, BI wajib menurunkan plafon penarikan tunai dengan kartu kredit yang kini maksimal Rp10 juta per rekening dalam satu hari menjadi Rp5 juta per rekening dalam sebulan. Ketiga, meningkatkan penerapan manajemen risiko.

Bank nasional wajib meningkatkan faktor yang satu ini, mengingat pada prinsipnya kartu kredit itu tidak memiliki agunan sebagaimana kredit modal kerja dan investasi. Agunan kartu kredit berupa riwayat pembayaran tagihan per bulan. Nah, di sinilah potensi risiko mendekam yang sering diabaikan bank dan nasabah. Dengan mempertimbangkan aneka pelajaran tersebut, kartu kredit kian menjadi sumber rezeki yang gurih bagi bank nasional.Nasabah kartu kredit pun bisa tersenyum karena kian terlindungi.

PAUL SUTARYONO 
Pengamat Perbankan          

0 komentar:

Posting Komentar