CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 12 Februari 2011

Tugas 1

Studi Hubungan Kerja Pada Usaha-usaha Ekonomi Informal

 I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang 


Jumlah pekerja/buruh pada usaha-usaha ekonomi informal terus meningkat dari sekitar 60,63 juta orang pada tahun 2005 menjadi sekitar 64,84 juta orang pada tahun 2009. Para pekerja/buruh pada usaha-usaha ekonomi informal tersebut tersebar di semua sektor. Pada tahun 2009, dari sekitar 64,84 juta orang yang bekerja pada usaha-usaha ekonomi informal, sekitar 39,82 juta orang (61,40 %) berada di sektor pertanian. Selebihnya di sektor-sektor perdagangan 11,80 juta orang (18,20%), industri pengolahan 3,82 juta orang(5,89%), jasa kemasyarakatan 2,73juta orang(4,21 % ) dan sektor-sektor lainnya (pertambangan dan penggalian, listrik, gas dan air, bangunan, angkutan, pergudangan dan komunikasi, keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan) sekitar 6,68 juta orang (10,30 %).

Usaha-usaha ekonomi informal selama ini dianggap telah berjasa sebagai katup pengaman yang mampu menekan angka pengangguran, karena mampu menyerap sebagian besar dari pencari kerja yang tidak terserap pada usaha-usaha ekonomi formal. Namun ironisnya hingga saat ini belum semua usaha-usaha ekonomi informal terjangkau oleh program-program pembinaan dan perlindungan yang berkesinambungan.

Menurut ILO (2002), ekonomi informal merupakan unit-unit ekonomi yang termarjinalisasi, dimana para pekerja/buruhnya mengalami defisit dalam hal pekerjaan layak, defisit dalam standar perburuhan, defisit dalam hal produktivitas dan kualitas pekerjaan, defisit dalam perlindungan sosial dan defisit dalam organisasi dan hak suara.

International Conference of Labour Statisticians (ICLS) pada tahun 1993 mendefinisikan ekonomi informal berdasarkan unit produksi yaitu unit usaha yang melakukan proses produksi barang dan jasa dengan tujuan utama untuk menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan. Hubungan kerja pada usaha-usaha ekonomi informal pada umumnya atas dasar persaudaraan atau hubungan pribadi dan hubungan sosial serta bukan atas dasar persetujuan kontrak kerja dengan jaminan formal.

Becker (2004), menyatakan bahwa ekonomi informal dapat didefinisikan berdasarkan aktivitas usaha, kategori tenaga kerja dan lokasi usaha. Definisi berdasarkan aktivitas usaha, merupakan definisi tradisional yang menyatakan bahwa usaha-usaha ekonomi informal tidak terorganisir dengan baik dan tidak mengikuti ketentuan yang berlaku antara lain yang berkaitan dengan ijin usaha, kondisi dan lingkungan kerja serta kewajiban membayar pajak. Berdasarkan kategori tenaga kerja, ekonomi informal adalah setiap tipe kegiatan yang menghasilkan pendapatan, baik usaha mandiri maupun pekerjaan yang menhasilkan upah, yang usahanya tidak teroganisir para pekerjanya tidak terlindungi oleh peraturan perundan-undanganyang berlaku. Berdasarkan lokasi usaha dapat dibedakan atas industri rumah tangga, usaha kaki lima, pekerja kontrak pada proyek kontruksi jalan dan pemulung.

Canagarajah dan Sethuraman (2001) menyatakan bahwa usaha-usaha ekonomi informal terdiri dari semuaaktivitas ekonomi doluar usaha-saha ekonomi formal Sebagai konsekwensi pemerintah kurang memantau kualitas tenaga kerja pad asektor tersebut. Mayoritas usaha-usaha ekonomi informal yang perkaitan dengan produksi dan distribusi merupakanusaha mikro yang para pekerjanya mempunyai tingkat pendidikan relatif rendah dan tidak mempunyai ketrampilan tertentu dan hanya mempunyai modal usaha relatif kecil baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk tempat usaha , peralatan dan mesin.

Badan Pusat Statistik menggunakan istilah kegiatan informal untuk usaha-usaha ekonomi informal yang merujuk pada kegiatan ekonomi yang bersifat tradisional, tidak mempunyai struktur oranisasi yang jelas, tidak mempunyai pembukuan dan tidak mempunyai ikatan yang jelas antara pemilik (pemberi kerja) dan pekerja.


2. Tujuan Penelitian dan kegunaan

  1. Tujuan Penelitian
    Penelitian ini bertujuan untuk melihat karakieristik sosio –demografi dan kondisi ekonomi pada usaha-usaha ekonomi informal serta untuk mengetahui pola hubungan kerja dan pengaturan hak dan kewajiban di tempat kerja.
  2. Kegunaan Penelitian
    Hasil Penelitian ini digunakan sebagai masukan bagi kebijakan pemberdayaan sektor informal.



3. Metode Penelitian
Penelitian ini diawali dengan Fokus Group Diskusi dengan instansi dan lembaga terkait untuk menentukan industri kecil dan kerajinan rakyat yang menjadi unggulan. Dari hasil FGD tersebut, ditentukan responden penelitian ini.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, instansi-instansi dan lembaga-lembaga terkait. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan responden.

Sebagai daerah penelitian dipilih provinsi dimana proporsi usaha-usaha ekonomi informal pada industri pengolahan dan perdagangan yang mana usaha-usaha tersebut telah berlangsung secara turun temurun. Berdasarkan kriteria tersebut, maka sebagai daerah penelitian dipilih provinsi Sumatera Selatan, JawaTengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan


II. Kondisi Ketenagakerjaan Di Indonesia.

1. Penduduk yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan

Penduduk yang bekerja menurut status pekerjaan penting untuk dikaji karena dapat digunakan sebagai indikasi apakah para tenaga kerja bekerja sebagai pekerja penerima upah (wage jobs) atau pada pekerjaan tradisional dan kegiatan informal (traditional jobs). Disamping itu juga dapat digunakan sebagai indikasi apakah seseorang bekerja sebagai pemberi kerja atau sebagai pekerja dan dapat menunjukkan apakah pemberi kerja tersebut dibantu oleh pekerja tetap atau tidak tetap. Pemberi kerja yang mempekerjakan pekerja tetap dapat dikategorikan sebagai pemberi kerja pada kegiatan formal, sedangkan pemberi kerja yang mempekerjakan pekerja tidak tetap atau pekerja keluarga yang tidak dibayar dapat dikategorikan sebagai pemberi kerja pada kegiatan formal. Pekerja tetap dapat diindikasikan sebagai pekerja pada kegiatan formal, sedangkan pekerja bebas dan pekerja yang tidak dibayar (pekerja keluarga) dapat diindikasikan sebagai pekerja pada kegiatan informal.

Hasil Sakernas 2009. menunjukkan bahwa orang yang berusaha dengan menanggung resiko secara ekonomis jumlahnya cukup besar. Jumlah orang yang bekerja dengan menanggung resiko secara ekonomis serta tidak menggunakan tenaga kerja berjumlah sekitar 20, 81 juta orang. Jumlah orang yang berusaha atas resiko sendiri dan menggunakan pekerja/buruh tidak tetap atau pekerja/buruh tidak dibayar jumlahnya lebih besar yaitu sekitar 21,64 juta orang. Sedangkan jumlah orang yang berusaha dengan mempekerjakan paling sedikit 1 orang buruh tetap atau buruh yang dibayar hanya sekitar 2,97 juta orang.(lihat tabel 1). 
Tabel 1.
Penduduk Usia 15 tahun Keatas Yang Bekerja
Menurut Status Pekerjaan Utama, Indonesia 2009.
(juta orang)
STATUS PEKERJAAN
KOTA
DESA
KOTA + DESA
Berusaha sendiri
10,08
(23,66
10,73
(17,33
20,81
(19,91
Berusaha Sendiri + Pekerjaan tidak tetap
4,71
(11,06)
16,93
(27,35)
21,64
(20,71)
Pekerja Bebas Pertanian
0,99
(2,32)
5,36
(8,66)
6,35
(6,08)
Pekerja Bebas Non Pertanian
2,45
(5,75
2,70
(4,36)
5,15
(4,93)
Pekerja Keluarga
3,69
(8,66)
14,97
(24,19)
18,66
(17,86)
SUB JUMLAH
21,92
(51,45
50,69
(81,90)
72,61
(69,49)
Berusaha dibantu Buruh Tetap/Buruh di Bayar
1,75
(4,11)
1,22
(1,97)
2,97
(2,84)
Pekerja/Karyawan/Pegawai
18,93
(44,44)
9,98
(16,13)
28,91
(27,67)
SUB JUMLAH
20,68
(48,55)
11,20
(18,09)
31,88
30,51)
JUMLAH
42,60
(100,00)
61,89
(100,00)
104,49
(100,00)

Sumber : BPS (2009), Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Hasil Sakernas Februari 2009.

Berkaitan dengan data tersebut dapat dikatakan bahwa pemberi kerja yang mendapat pembinaan dan perlindungan dari pemerintah jauh lebih kecil jumlahnya dari pada yang tidak mendapatkan pembinaan dan perlindungan, karena pada umumnya pemberi kerja yang mempekerjakan pekerja tidak tetap dan pekerja kelurga merupakan usaha-usaha ekonomi informal. Demikian juga halnya para pekerja yang tidakterlindungi oleh peraturan perundangan yang berlaku jauh lebih besar daripada yang mendapatkan perlindungan. Tabel tersebut menunjukkan bahwa jumlah pekerja tetap (sekitar 28,91 juta orang) lebih kecil dari jumlah pekerja bebas pertanian dan pekerja bebas non pertanian serta pekerja keluarga (30.16 juta orang).


2. Penduduk Yang Berusaha Sendiri Dibantu Buruh Tidak Tetap Menurut Lapangan Pekerjaan 
Penduduk yang berusaha sendiri dibantu oleh pekerja/buruh tidak tetap dan pekerja/buruh tidak di bayar pada umumnya berada pada usaha-usaha ekonomi informal. Tabel 2 menunjukkan bahwa pada tahun 2009, jumlah penduduk usia kerja yang berusaha sendiri dengan dibantu pekerja/buruh tidak tetap adalah 16.925.039 orang dan tersebar di seluruh lapangan usaha. Dari jumlah tersebut, sebagian besar berada pada sektor pertanian (68,43 persen), kemudian diikuti dengan sektor perdagangan (22,13 persen) dan sektor industri (5,69 persen.) 
Tabel. 2
Penduduk Usia 15 tahun Keatas yang Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap
Berdasarkan Lapangan Pekerjaan dan Daerah Tempat Tinggal,Indonesia 2009.
LAPANGAN PEKERJAAN
KOTA
DESA
KOTA + DESA
Pertanian, Kehutananm Perburuan dan Perikanan
1.339.856
(28,44)
13.466.261
(79,56)
14.806.117
(68,43)
Pertambangan dan Penggalian
18.368
(0,39)
58.320
(0,34)
76.688
(0,35)
Industri Pengolahan
414.263
(8,79)
816.664
(4,83)
1.230.927
(5,69)
Listrik, Gas, Air
-
(0.00)
286
(0,002)
78.507
(0,36)
Bangunan
32.212
(0,68)
46.295
(0,27)
78.507
(0,36)
Perdagangan, Rumah Makan dan Hotel
2.601.297
(55,21)
2.186,552
(12,92)
4.787849
(22,13)
Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi
80.757
(1,71)
179.361
(1,06)
260.118
(1,20)
Keuangan, Asuransi, Usaha, Persewaan bangunan, Tanah
44.020
(0,93)
10.023
(0,06)
54.043
(0,25)
Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan
180.949
(3,48)
161.277
(0,95)
342.226
(1,58)
Jumlah
4.711.772
(100,00)
16.925.039
(100,00)
21.636,761
(100,00)
Sumber : Diolah dari Data Sakernas Februari 2009, BPS 2009.


Tabel tersebut juga menunjukkan adanya perbedaan distribusi penduduk usia 15 tahun atau lebih (tenaga kerja) menurut lapangan usaha antara kota dan desa. Di Desa pola distribusi, tenagakerja yang berusaha sendiri dibantu pekerja tidak tetap mengikuti pola rata-rata Indonesia. Yang terbanyak adalah di sektor di sektor pertanian yaitu 13,47 juta (79,56 persen), diikuti dengan sektor perdagangan yaitu sekitar 2,19 uta orang (12,92 persen) dan sektor industri yaitu sekitar 0,82 juta orang (4,83 persen).

Dari tabel tersebt juga terlihat bahwa untuk sektor non pertanian, orang yang berusaha sendiri dibantu buruh tidak tetap yang terbanyak berada di sektor perdagangan dan kemudian di sektor industri


III. Hasil penelitian
Responden dalam penelitian ini terdiri dari pemberi kerja dan pekerja di sektor Industri Pengolahan dan Perdagangan yang menjadi unggulan di daerah penelitian. Responden dipilih secara acak dan jumlah responden yang dapat diwawancarai adalah 502 orang yang terdiri dari 251 orang pemberi kerja dan 251 orang pekerja. Jumlah responden di sektor industri lebih besar yaitu 171 orang (68,13 persen) dari sektor perdagangan yaitu 80 orang (31,87 persen). Sektor industri pengolahan berskala kecil dan mikro yang diteliti meliputi tenun, sasirangan, batik dan kerajinan kayu serta makanan dan minuman. Untuk sektor perdagangan dipilih hanya rumah makan.

Di Sumatera Selatan, responden di sektor industri berjumlah 29 usaha kecil dan mikro yang terdiri dari tenun (4 usaha), kerajinan (8 usaha) dan makanan (17 usaha). Sedangkan di sektor perdagangan yang menjadi responden adalah 8 rumah makan.

Di DI Yogjalarta, responden di sektor industri pengolahan berjumlah t5 usaha yang terdiri dari batik (25 usaha), kerajinan kulit (32 usaha) dan makanan (18 usaha) sedangkan di sektor perdagangan, yang diteliti adalah 8 rumah makan.

Di Kalimantan Selatan, responden untuk sektor industri sebanyak 32 usaha yang terdiri dari 18 usaha sasirangan, 12 usaha dan 2 usaha kerajinan manik-manik, sedangkan untuk sektor perdagangan yang diteliti 9 rumah makan.

Di Sulawesi Selatan di sektor industri diteliti 45 usaha yang terdiri dari 20 usaha ukiran, 15 usaha makanan dan 10 usaha tenun. Untuk sektor perdagangan diteliti 36 usaha rumah makan.


1. Karakteristik Sosio-Demografi
  1. Umur
    Di sektor industri, dari 181 responden pemberi kerja hanya 8 orang (4,42 persen) yang berada pada kelompok umur di bawah 30 tahun, sedangkan untuk pekerja jumlahnya mencapai 37 orang (20,44) persen. Sebaliknya untuk kelompok umur tertua yaitu kelompok umur 60 tahun atau lebih jumlah pemberi kerja lebih tinggi yaitu 11 orang (6,08 persen) dari jumlah pekerja yaitu 6 orang (3,31 persen). Di sektor industri sebagian besar pemberi kerja berada pada kelompok umur 30-59 tahun yaitu 162 orang (89,50 ) persen, sedangkan responden pekerja sebagian besar berada pada kelompok umur 15-59 tahun yaitu130 orang (71,82 persen). Di sektor perdagangan, pemberi kerja sebagian besar berada pada kelompok usia 30-59 tahun yaitu 81 orang atau 90 persen dari jumlah pemberi kerja. Sementara jumlah pekerja sebagian besar berada pada kelompok umur 15-49 tahun yaitu 84 orang atau 93,33 persen.

  1. Tingkat Pendidikan
    Responden pemberi kerja pada sektor industri yang berpendidikan tamat SLTP berjumlah 102 orang atau 58,56 persen, sedangkan yang berpendidikan tamat SLTA sebanyak 48 orang atau 26,52 persen. Sementara pekerja yang berpendidikan tamat SLTP mencapai 106 orang atau 58,56 persen dan yang berpendidikan tamat SLTA sebanyak 46 orang atau 125,41 persen. Responden yang berpendidikan rendah juga cukup signifikan, pemberi kerja yang berpendidikan tamat SD ke bawah berjumla 22 orang (12,15 %) dan jumlah pekerja yang berpendidikan SD kebawah berjumlah 29 orang (16,02 0rang). Pemberi kerja yang berpendidikan diatas SLTA berjumlah 9 orang, terdiri dari 6 (3,31 %) orang tamatan Akademi/Diploma dan 3 orang (1,66 %) tamatan universitas, sedangkan pekerja diatas pendidikan tamat Akaemi/Diploma sebanyak 5 orang (2,76 %) dan tidak ada yang tamatam Universitas.

    Di sektor perdagangan , pemberi kerja yang berpendidikan tamat SLTP berjumlah 49 orang (54,44 %) dan yang berpendidikan SLTA berjumlah 30 orang (33,33 %(. Sementara pekerja di sektor perdagangan yang berpendidikan SLTP berjumlah 51 orang (56;67 %) dan yang berpendidikan SLTP berjumlah 27 orang.(30.00 %). Jumlah pemberi kerja yang berpendidikan SD ke bawah lebih kecil (9 orang atau sekitar 10,00%) dari jumlah pekerja (11 orang atau sekitar 12,22 %). Pemberi kerja yang berpendidikan tamat akademi berjumlah 7 orang (7,78 %) dan yang berpendidikan tamat universitas berjumlah 4 orang (4,44 persen). Pekerja yag berpendidikan diatas SLTA berjumlah 6 orang (6,67 persen) dan semuanya tamatan Akademi/Diploma.


2. Karakteristik Ekonomi
  1. Modal usaha
    Di sektor industri sekitar 73,5 persen dari responden mempunyai modal sendiri, 20,4 persen modal usahanya sebagianmerupakan pinjaman dan hanya 6,1 persen yang menyatakan semua modal usahanya merupakan pinjaman. Di sektor perdagangan sekitar 78,8 persen dari responden menyatakan mempunyai modal sendiri, 15,6 persen menyatakan sebagian modalnya merupakan pinjaman dan 5,6 persen menyatakan bahwa modal usahanya berasal dari pinjaman. Dari hasil wawancara terlihat bahwa sebagian dari pemberi kerja belum memahami tata cara dan persyaratan untuk meminjam uang di Bank sehingga pengembangan usaha sangat tergantung dengan keuntungan.

  1. Omset Penjualan
    Di sektor industri 106 responden (58,56 persen) pemberi kerja menyatakan omset penjualan setiap bulan dibawah Rp.10.000.000,-, selebihnya sebanyak 44 orang (24,31 persen) menyatakan omset penjualannya diantara Rp.10.000.000,- sampai dengan Rp 20.000.000.- dan 21 orang (11.60 persen) menyatakan mempunyai omset penjualan diatas Rp. 20.000.000,- sebulan. Sementara di sektor perdagangan sebanyak 34 responden menyatakan mempunyai omset penjualan dibawah Rp.10.000.000,-. 32 orang menyatakan omset penjualannya sekitar Rp 10.000.000.- sampai dengan Rp.2.000.000,- dan 24 orang menyatakan mempunyai omset penjualan diatas Rp.20.000.000,-

  1. Jumlah Upah yg Dibayarkan
    Di sektor industri, sebanyak 51 orang responden menyatakan bahwa jumlah upah yang dibayarkan untuk pekerja di bawah Rp.500.000,-, 52 responden menyatakan sekitar Rp. 500.000,- sampai dengan Rp 1.000.000,- dan 78 responden menyatakan bahwa jumlah upah yang dibayarkan untuk pekerja lebih dari Rp.1.000.000,-. Di sektor perdagangan, 48 orang responden pemberi kerja menyatakan bahwa setiapbulan membayar upah pekerja sekitar Rp.500.000,- sampai dengan Rp.1.000.000,-. Selebihnya 31 responden membayar upah lebih rendah dari Rp.500.000,- dan 11 responden menyatakan membayar upah lebih besar dari Rp.1.000.000,- sebulan.

    Diantara pemberi kerja di sektor industri yaitu industri sasirangan dan batik menyatakan bahwa ada kalanya mereka membayar upah lebih besar apabila mendapat pesanan dalam jumlah yang besar. Biasanya apabila ada pesanan dalam jumlah besar, para pemberi kerja memberikan pekerjaan kepada rumahtangga disekitarnya yang anggota keluarganya mempunyai keterampilan sesuai dengan yang dibutuhkan.

  1. Jam Kerja dan Jam Istirahat
    Dari hasil penjelasan dari responden pekerja di sektor industri dapat diketahui bahwa sejumlah 122 orang bekerja selama 8 jam per hari, 39 orang bekerja kurang dari 8 jam perhari dan 30 orang bekerja lebih dari 8 jam sehari. Di sektor perdagangan para pekerja cenderung lebih panjang waktu kerjanya karena tergantung tutupnya rumah makan. Di sektor perdagangan hanya 3 orang yang bekerja kurang dari 8 jam sehari. Selebihnya sebanyak 43 orang bekerja 8 jam sehari dan 34 jam bekerja lebih dari 8 jam sehari.. Di sektor industri apabila ada pesanan dalam jumlah yang besar para pekerja diminta untuk kerja lembur dengan imbalan tertentu. Di sektor industri waktu istirahat berkisar antara 30 menit sampai dengan 1 jam sehari dan diberikan pada waktu makan siang. Namun waktu istirahat ini sangat tergantung kepada para pekerja dan tidak diatur secara kerja sehingga dapat berubah-ubah tergatung pekerjany. Di sektor perdagangan waktu istirahat tidak menentu dan tidak ada waktu istirahat khusus. Pada umumnya para pekerja istirahat pada saat tidak ada pelanggan dan makan dilakukan secara bergilir.

  1. Upah Responden
    Di sektor industri sebanyak 81 orang responden pekerja menyatakan menerima upah sekitar Rp.500.000 ,- -Rp 1.000.000, 77 orang mendapatkan upah di bawah Rp 500.000,- 24 orang mendapatkan upah diatas Rp1.000.000,- sebulan. Para responden juga menyatakan bahwa pada umumnya pemberi kerja memberikan bonus apabila omset penjualan meningkat. Apabila melakukan kerja lembur, para pemberi kerja juga memberikan tambahan upah yang besarnya tidak menentu dan semuanya tergantung pada pemberi kerja. Berkaitan dengan upah lembur para pekerja menyatakan bahwa mereka tidakmemahami ketentuan upah lembur dan mereka tidak keberatan dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah berlaku berkaitan dengan upah lembur dan bonus.

    Di sektor perdagangan, 54 responden menyatakan merima upah sekitar Rp.500.000,- sampai dengan Rp.1.000.000,- selebihya 26 orang menyatakan menerima upah di bawah Rp 500.000,- per bulan dan 10 orang menerima upah lebih dari Rp. 1.000.000,- per bulan. Khususnya di provinsi Sulawesi Selatan , responden pekerja rumah makan yang menerima upah kurang dari Rp.500.000,- sebulan adalah pekerja keluarga yang tinggal makan di tempat pemberi kerja. Upah perbulan di simpan pada pemberi kerja dan diambil satu tahun sekali, disamping upah perbulan para pekerja masih mendapatkan uang harian yang tidak tentu jumlahnya.



3. Perjanjian Kerja dan Syarat-syarat kerja 
Berdasarkan Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan perjanjian kerja antara pengusaha/pemberi kerja denggan pekerja dapat dibuat secara lisan atau tertulis. Dari hasil wawancara dengan responden pemberi kerja dan responden Pekerja dapat diketahui bahwa perjanjian kerja antara pemberi kerja dan pekerja dilaksanakan secara lisan. Para pemberi kerja menyatakan bahwa untuk setiap pekerja ada ketentuan berkaitan dengan pekerjaan, jam kerja dan upah. Namun pada umumnya para pemberi kerja tidak menjelaskantentang hal tersebut kepada setiap pekerja yang direkrutnya. Berkaitan dengan pejanjiankerja, para responden pekerja juga menjelaskan bahwa para pemberi kerja tidak menjelaskan tentang hak dan kewajiban para pekerjanya. Para pekerja juga mengakui bahwa mereka tidak mempersoalkan tentang ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja, yang penting mereka mendapatkan pekerjaan yang berkesinambungan.

Walaupun upah yang dibayarkan kepada pekerja tidak dirundingkan, namun para pengusaha menjelaskan bahwa dalam menetapkan upah ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan yaitu masa kerja, tingkat kesulitan pekerjaan dan upah yang berlaku. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya pekerja yang mendapatkan upah sama bahkan lebih tinggi dari upah minimum setempat. Namun penghasilan pekerja tersebut tidak tetapkarena tergantung pada kehadiran atau jumlah barang yang dihasilkan setiap hari.

Menarik untuk dicatat bahwa para responden pekerja pada rumah makan sebagian merupakan keluarga dari pemberi kerja namun tetap mendapatkan upah walaupun tinggal di tempat pemberi kerja.

Walaupun para pekerja tidakmempunyai posisi tawar yang kuat akan tetapi para responden pekerja menyatakan tidak pernah malakukan unjuk rasa karena semua permasalahan dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Dapat dikatakan bahwa sistem hubungan kerja pada usaha-usaha ekonomi informal masih bersifat kekeluargaan.. Para pekerja dalam melakukan kewajibannya banyak mendapatkan toleransi dari pemberikerja terutama yang berkaitan dengan jam masuk dan pulang kerja serta waktu istirahat.Demikianjuga dengan para pekerja borongan, para pemberikerja tidak selalu memberikan waktu penyelesaian yang ketat kecuali apabika ada pesanan yang harus diselesaikan dalam waktu tertentu


4. Kondisi Lingkungan Kerja 
Kondisi lingkungan kerja sangat tergantung pada kondisi tempat kerja. Di sektor industri pada umumnya tempat usaha berada di dalam atau di pekarangan rumah sehingga sangat tergantung pada kebersihan rumah, sirkulasi udara dan sistem penerangan. Dari 4 jenis industri yang diteliti yaitu tenun, batik, kerajinan dan makanan , dapat dikatakan bahwa para pekerjanya rawan akan penyakit akibat kerja karena para pekerja duduk dilantai dan sirkulasi udara kurang baik. Khusus para pekerja di industri makanan ada yang bekerja dalam ruangan yang tertutup dengan suhu udara yang relatif tinggi sehingga membahayakan kesehatan. Kondisi lingkungan kerja para responden yang bekerja di sektor perdagangan relatif lebih baik dari pada sektor industri.


5. Pembinaan dari Instansi Terkait
Walaupun usaha-usaha yang diteliti merupakan usaha yang diunggulkan di kabupaten dan kota yang bersangkutan, namun dari hasil wawancara dengan pemberi kerja dan pekerja dapat diketahui belum mendapatkan pembinaan secara berkesinambungan dan adakalanya pembinaan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan. Dari hasil penelitian dapat diketahuo bahwa pada umumnya para pemberikerja belum mengelola usahanya secara baik dan belum berorientasi bisnis. Pada umumnya mereka membutuhkan pembinaan yang berkaitan dengan manajemen usaha seta akses perlodalan dan akses pemasaran. Para responden mengharapkan adanya pembinaan dan bantuan pemasaran agar penghasilan mereka meningkat bersifat rutin sehingga mereka dapat merencanakan pengembangan usaha.


6. Jaminan Sosial Tenaga Kerja 
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 1993, pera pemberi kerja yang membayar upah paling sedikit Rp. 1.000.000,- sebulan wajib mengikutsertakan pekerjanya dalam program jamsostek, yangberarti berhak mendapatkanpembinaan tentang program jamsostek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para responden pemberi kerja yang membayar upah paling sedikit Rp.1.000.000,- sebulan belum pernah mendapat pembinaan program jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) . Hal ini menunjukkan bahwa peraturan perundangan tentang jaminan sisal tenaga kerja baru diterapkan pada usaha-usaha ekonomi formal. Hal ini juga dapat digunakan sebagai indikasi bahwa para pemberikerja dan pekerj apada usaha-usaha ekonomi informal belumterjangkau oleh program perlindunan tenaga kerja


IV. Kesimpulan dan Saran 
1. Kesimpulan
  1. Ditinjau dari kelompok umurnya pemberi kerja di sektor idustri dan perdagangan sebagian besarberada pada kelompok umur 30-59 tahun, sementara pekerja berada pada kelompok umur 15-59 untuk sektor industri dan kelomok umur yang lebih muda yaitu 15-49 tahun untuk sektor perdagangan.
  2. Baik pemberi kerja maupun pekerja di sektor industri dan perdagangan berpendidian tamat SLTP dan jumlah pemberi kerja dan pekerja yang tamat SLTA juga cukup signifikan. Pada umumnya mereka tidak dapat memenuhi persyratan ketrampilan untuk menjadi pekerja pada usaha-usaha ekonomi formal, sehingga mereka berusaha atau bekerja pada usaha-usaha ekonomi informal untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
  3. Para responden pemberi kerja sebagian besar memiliki modal sendiri, hanya sebagian kecil yang modal usahanya meminjam dari keluarganya. Omset di sektor industri tidak tetap, kecuali industri makanan, omset penjualan sangat tergantung pada pesanan.
  4. Hubungan kerja pada usaha-usaha di sektor industri dan perdagangan yang diteliti masih bersifat kekeluargaan. Perjanjiankerja dibuat secara lisan, walaupun penentuan upah didominasi oleh pemberi kerja, namun para pekerja tidak pernah mempersoalkan upah yang diterima. Sebaliknya, walaupun pemberi kerja membuat ketentuan tentang waktu kerja dan waktu istirahat yang disampaikan secara lisan , namun pekerja seringkali tidak mematuhinya dan pemberikerja tidak pernah memberi sanksi atau hukuman.
  5. Dalam menentukan upah para pekerjanya para pemberi kerja mempertimbangkan masa kerja, tingkat kesulitan pekerjaan dan upah yang berlaku di wilayahnya. Oleh sebab itu diantara responden pekerja ada yang menerima upah sama dengan atau lebih besar dari upah minimum setempat
  6. Walaupun usaha-usaha yang diteliti merupakan usaha-usaha unggulan namun belum mendapatkan pembinaan yang berkesinambungan dari instansi terkait. Berdasarkan pengamatan para pemberi kerja masih mengelola usahanya secara tradisionil. Demikian juga halnya para pemberi kerja yang membayar upah paling sedikit Rp/1/000.000,- dalam sebulan yang berdasarkan ketentuan yang berlaku merupakan perusahaan wajib jamsostek belum pernah mendapatkan penyuluhan tentang program jamsostek.

2. Saran
  1. Dalam rangka pemberdayaan usaha-usaha ekonomi informal untuk menjadi usaha produktif khususnya di sektor perdagangan dan industri diperlukan pembinaan dari instansi terkait. Pembinaan yang diberikan hemdaknya melipuei manajemen usaha, ethos kerja dan tehnk-tehnik pemasaran hasil.
  2. Perlu bantuan kemudahan dalam hal permodalan dan pemasaran dalam rangka pengembangan usaha dan peningkatan penghasilan.
  3. Perlu pembinaan dalam rangka perbaikan syarat-syarat kerja dan perlindungan tenaga kerja dalam rangka meningkatkan daya saing usaha dan kesejahteraan pemberi kerja dan para pekerjanya.


Program Penelitian/Kajian/Survei tentang Kondisi Sektor Informal di Indonesia dari berbagai Aspek ( Aspek pembinaan dan perlindungan) 
Dilatarbelakangi bahwa usaha-usaha ekonomi informal selama ini dianggap telah berjasa sebagai katup pengaman yang mampu menekan angka pengangguran, karena mampu menyerap sebagian besar dari pencari kerja yang tidak terserap pada usaha-usaha ekonomi formal. Namun ironisnya hingga saat ini belum semua usaha-usaha ekonomi informal terjangkau oleh program-program pembinaan dan perlindungan yang berkesinambungan.

Ekonomi informal merupakan unit-unit ekonomi yang termarjinalisasi, dimana para pekerja/buruhnya mengalami defisit dalam hal pekerjaan layak, defisit dalam standar perburuhan, defisit dalam hal produktivitas dan kualitas pekerjaan, defisit dalam perlindungan sosial dan defisit dalam organisasi dan hak suara.

Hubungan kerja pada usaha-usaha ekonomi informal pada umumnya atas dasar persaudaraan atau hubungan pribadi dan hubungan sosial serta bukan atas dasar persetujuan kontrak kerja dengan jaminan formal.


Ir. Tianggur Sinaga, MA, dkk.
(Diknas)

www.nakertrans.go.id/

1 komentar:

Silence Heart mengatakan...

Panjang banget pembahasannya sampe pusing saya bacanya...

Posting Komentar